Pertanyaan:
Apabila sperma seorang laki-laki disuntikkan ke rahim wanita yang bukan istrinya dan berhasil berfertilisasi dengan ovum wanita tersebut, apakah praktik ini disebut sebagai zina?
Jawaban:
Masalah ini telah dibahas oleh sekelompok ulama kontemporer dan menghasilkan kesepakatan bahwa praktik ini haram untuk dilakukan, walaupun keharamannya tidak menyamai zina yang hakiki. Berikut komentar-komentar sebagian mereka:
Syekh Mahmud Syaltut rahimahullah berkata, “Apabila fertilisasi dilakukan dengan sperma laki-laki yang bukan suami, tanpa diragukan lagi praktik ini menyamakan derajat manusia seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan, atau menjatuhkan nilai manusia dan menyejajarkannya dengan hewan dan tumbuhan.
Menurut pandangan syar’i, ini adalah perbuatan mungkar dan dosa besar termasuk perbuatan zina, karena substansinya sama hasilnya juga sama, yaitu meletakkan sperma seorang laki-laki pada rahim seorang wanita tanpa ada ikatan tali pernikahan. Seandainya tidak dikarenakan adanya sedikit perbedaan (antara zina dan perbuatan ini), tentunya hukum praktik ini sama dengan hukum perzinaan. Cukuplah bagi mereka yang mengajak dan menganjurkan praktik ini, hasil yang rancu yang menggabungkan antara dua jenis bencana, yaitu biasanya nasab dan tercorengnya kehormatan selamanya.”
Demikian fatwa dari Mahmud Syaltut rahimahullah yang tercantum dalam kitab al-Fatawa, hlm. 328.
Syekh ‘Athiyah Shaqar berkata di dalam kitab Mausu’atu al-Usrah: I/120, “Apabila fertilisasi buatan berasal dari air mani laki-laki yang bukan suami, baik dilakukan secara sukarela maupun tidak, maka hukumnya haram dan lebih mungkar dari pada melakukan pengangkatan anak (dengan menasabkan padanya) yang dilakukan pada zaman jahiliyah dulu, sebab anak angkat diketahui bahwa ayahnya orang lain dan termasuk anggota asing di dalam keluarga.
Adapun praktek fertilisasi seperti ini, maka ia menggabungkan dua hal, yaitu memasukkan unsur asing ke dalam keluarga dan bentuk perzinaan yang mengakibatkan timbulnya kerancuan pada nasab keturunan, melemahkan hubungan kekeluargaan, mengabaikan hak dan menumbuhkan perasaan iri dan dengki. Seandainya praktik ini tidak sedikit berbeda dengan zina, tentu pelakunya berhak mendapat sangsi hukum yang sama seperti sangsi hukum yang diberikan penzina.”
Syekh Mushthafa az-Zarqa berkata, “Praktik terlarang berupa fertilisasi buatan seperti ini mengharuskan hukuman ta’zir yang setimpal yang membuat pelakunya jera.”
Syekh Ali ath-Thanthawi rahimahullah pernah ditanya tentang fertilisasi dengan sperma laki-laki yang bukan suami, apakah hal itu termasuk zina?
Beliau menjawab, “Tidak sama dan tidak boleh diberlakukan hukum zina padanya, sebab untuk pelaksanaan hukuman zina harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang tidak didapati pada praktik ini. Akan tetapi, bukan berarti pelakunya dibiarkan begitu saja tanpa ada sangsi hukum sedikit pun. Pelakunya harus diberi hukuman ta’zir, yaitu hukuman berdasarkan keputusan penguasa (pejabat berwengan), atau diserahkan kepada kebijakan hakim yang khusus menangani masalah ini. Kalaupun pelakunya tidak mendapat sangsi hukum, sesungguhnya kultur peradaban Arab dan tabiat manusia terhormat serta masyarakat Islam yang konsekuen, tidak dapat menerima praktik-praktik seperti ini.”
Demikian ucapan beliau dalam kitab al-Fatawa, hlm. 103.
Sumber: Ensiklopedi Anak, Abu Abdillah Ahmad bin Ahmad al-Isawi, Darus Sunnah.
(Dengan beberapa pengubahan tata bahasa oleh redaksi www.konsultasisyariah.com)
🔍 Apa Arti Fasik, Cobaan Pernikahan Dalam Islam, Doa Menghentikan Tangisan Bayi, Cara Mencukur Rambut Bayi 40 Hari, Rukun Shalat Ied, Niat Mandi Wajib Setelah Haid Menurut Islam